Gimana isi blog ini ?

Senin, 14 Juni 2010

Kartini tanpa Raden Ajeng (Resensi Buku)

Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Kategori : Biografi
Penerbit : Lentera Diptera

Sosok perempuan yang namanya sangat tidak asing di telinga kita. Setiap lirik lagu “Ibu Kita Kartini” dinyanyikan, jelas sekali bahwa kita mengelu-elukan perjuangannya. Perempuan ini sangat mulia dengan segala cerita yang pernah kita dengar. Namun, cerita yang sebenarnya tidak utuh kita pahami sehingga pujaan-pujaan kita kepadanya sebagai pendekar, pelopor, perintis emansipasi hanyalah hadir sebagai cerita pelengkap dari mitos simbolis Kartini. Acara tahunan untuk mengenang Kartini kita jadikan kepercayaan bahwa segala bentuk keterbelakangan kaum perempuan telah berakhir sampai pada perjuangan Kartini saja. Padahal cerita-cerita perjuangan Kartini tidaklah sesederhana itu. Walau Kartini dianggap sebagai konseptor atas sejarah modern Indonesia, Kartini ternyata enggan disebut-sebut dengan titel Raden Ajeng.


“Panggil Aku Kartini Saja!”, salah satu kutipan kalimat dalam surat yang ditulis Kartini, diambil oleh Pramoedya Ananta Toer untuk judul karyanya sebagai rasa kagum dan penghargaannya kepada Kartini. Kartini digambarkan oleh Pram menjadi seseorang yang enggan jumawa terhadap segala sesuatu yang telah diperjuangkan. Biografi ini disusun sebagai pembuktian tentang kehidupan Kartini yang lebih detail, dan disajikan dalam berbagai cara pandang. Lewat beberapa kutipan surat yang turut disertakan, Pram memberikan kehidupan yang nyata dalam ceritanya. Ia tidak hanya menyajikan Kartini sebagai sosok dari segi pejuang dalam bidang sosial, ekonomi, politik, tetapi ia juga telah menghubungkan Kartini dengan kehidupan kesenian, rohani, bahkan cinta.
***

Kartini pada masa itu digambarkan harus melawan segala sistem dan adat yang identik dengan feodalisme Pribumi. Sebagai anak Pribumi dari ayah seorang Bupati, ia dituntut untuk menaati segala yang menjadi kehendak ayahnya, atau yang telah menjadi adat budayanya. Di awal bab buku ini, Pram sengaja mengajak kita untuk masuk terlebih dahulu pada suasana penjajahan yang terjadi menimpa leluhur Kartini. Kemudian cerita mulai mengalir pada masa-masa penderitaan Kartini yang mengalami diskriminasi baik di keluarganya maupun di sekolah.
Kartini sempat beruntung bisa merasakan sekolah meskipun ia mengalami kesulitan dalam berbahasa Belanda. Toh pada akhirnya,kita akan tahu bahwa Kartini pun harus menyatakan bahwa “Hanya dengan pengetahuan salah sebuah bahasa Eropa dan pertama-tama tentu saja bahasa Belanda, untuk sementara lapisan atas masyarakat Pribumi dapat dibawa ke arah kecerdasan , ke arah kebebasan jiwa!”(halaman 230).
Tidak seperti cerita biografi Kartini yang lain, dalam buku ini Pram mencoba menjelaskan bagaimana ia harus menjaga kisah cintanya pada sang ayah dan keluarga, sehingga ia terpaksa harus tetap menelan pil sistem feodal yang sangat dibencinya. Pergulatan batin Kartini memang telah membuat orang-orang disekitarnya meragukan kondisi kejiwaan Kartini. Perjuangan seorang diri dengan berbagai ajaran yang pernah ia simak, membuatnya memiliki pandangan yang cenderung pluralis, Kartini bahkan bisa disebut sebagai muslim yang enggan beribadah dengan cara agamanya.

Selain itu, Pram juga menaruh perhatian pada kehidupan Kartini sebagai seniwati. Pram membedah kecerdasan Kartini melalui buku-buku yang telah dibacanya, dan karya seni yang telah diciptakannya. Kartini juga telah membuktikan adanya persahabatan lintas negara yang membawa titik terang gerakannya.

Lepas dari kekurangan yang telah dilakukan Pram lewat karya ini, memang sudah seharusnya kita membuka mata kita pada kisah Kartini yang sebenarnya menyimpan banyak inspirasi lebih dari sekadar panggilan Raden Ajeng Kartini, panggilan yang dianggap kembali memberikan kekangan pada Kartini. Kartini seharusnya menjadi pendorong kita bahwa kita harus maju, bukan mundur : semua harus dimulai dengan berani ! Barang siapa tidak berani , dia tidak bakal menang !

Ditulis oleh Putri Adityowati

Resensi Buku “Bikin Film, Kata 40 Pekerja Film!”


          Penulis                  : Prima Rusdi
Penerbit                : Majalah Hai (Jakarta)
Tahun Penerbitan   : 2007
Tebal Buku             : vii + 247 halaman
Harga                    : Rp 55.000,00

Satu kata yang terucap setelah membaca buku ini : “Wow!”. Jarang ada majalah atau mungkin satu-satunya di Indonesia yang menerbitkan buku tentang film. Apalagi hal-hal yang dibahas bisa dibilang lengkap. Semua tahapan dalam pembuatan sebuah film dibahas di buku ini. Mulai dari tahap pra produksi, tahap produksi, tahap pasca produksi, hingga tahap pemutaran (publicist).

Buku ini tidak seperti buku-buku kebanyakan yang membahas hal serupa. Konsep yang disajikan dalam buku ini bukan cerita narasi atau teks book tetapi hasil wawancara antara si penulis yang juga merupakan penulis skenario, Prima Rusdi, dengan beberapa sineas atau film maker Indonesia. Gaya bahasanya santai, ringan, dan mudah dipahami. Sebenarnya wawancara dalam buku ini lebih bersifat obrolan. Obrolannya pun tidak berat, seperti obrolan biasa saja antara teman yang sudah akrab. Walaupun begitu, obrolan tersebut tetap berbobot dan tetap memberikan informasi yang inspiratif bagi para film maker Indonesia khususnya pemula.

Buku ini terbagi dalam empat pembahasan tentang tahap pembuatan sebuah film, yakni tahap pra produksi, produksi, pasca produksi, dan pemutaran (publicist). Di masing-masing tahap, ada wawancara dengan orang-orang yang biasanya berperan di tahap tersebut. Misalnya, dalam tahap pra produksi, Prima Rusdi mewawancarai orang-orang yang berprofesi sebagai produser (seperti Mira Lesmana, Nia Dinata, Shanty Harmain, dan Erwin Arnada), sutradara (Riri Riza, Ody C. Harahap, dan Dimas Djayadiningrat), dan penulis scenario (Salman Aristo, Monty Tiwa, dan Rayya Makarim). 

Setiap orang ditanyai tentang pengalaman mereka selama bergelut dengan profesinya masing-masing. Banyak pengalaman unik dan menarik yang mereka alami selama bekerja bekerja di dunia film. Misalnya pengalaman yang pernah dialami oleh Erwin Ernada (produser ) yang pernah menerima naskah film dari calon penulis baru. Si calon penulis baru ini berkata padanya, “ Mas Erwin, kalau Mas enggak mau ngambil skrip ini, saya bakal kasih ke Miles!”. 

Atau pengalaman hampir serupa yang pernah dialami Nia Dinata. Suatu saat ada calon penulis baru yang salah mengirim naskah film padanya. Sebenarnya, si calon penulis itu bermaksud mengirimkan naskah pada Riri Riza tetapi dialamatkan kepada ke kantor Nia Dinata. “Udah nulis namanya salah, alamatnya salah pula, ” ujar Nia Dinata sambil menahan tawa.

Hal-hal tadi adalah sebagian kecil yang diceritakan para sineas film dalam buku ini. Masih banyak hal-hal menarik lainnya yang bisa ditemukan dalam buku ini. Buku Bikin Film, Kata 40 Pekerja Film! adalah buku yang menarik dan bisa dijadikan rekomendasi bacaan. Orang-orang yang memang tertarik dan ingin bergelut dengan dunia film, bisa mendapatkan banyak informasi dari para sineas film ternama yang ada dalam buku ini. Pengalaman dan informasi yang disajikan dalam buku ini tidak terkesan menggurui tetapi lebih bersifat obrolan santai atau sharing cerita antar para sineas film Indonesia. 

Ditulis oleh: Rezki Apriliya Iskandar (210110080041)