Gimana isi blog ini ?

Senin, 14 Juni 2010

Kartini tanpa Raden Ajeng (Resensi Buku)

Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Kategori : Biografi
Penerbit : Lentera Diptera

Sosok perempuan yang namanya sangat tidak asing di telinga kita. Setiap lirik lagu “Ibu Kita Kartini” dinyanyikan, jelas sekali bahwa kita mengelu-elukan perjuangannya. Perempuan ini sangat mulia dengan segala cerita yang pernah kita dengar. Namun, cerita yang sebenarnya tidak utuh kita pahami sehingga pujaan-pujaan kita kepadanya sebagai pendekar, pelopor, perintis emansipasi hanyalah hadir sebagai cerita pelengkap dari mitos simbolis Kartini. Acara tahunan untuk mengenang Kartini kita jadikan kepercayaan bahwa segala bentuk keterbelakangan kaum perempuan telah berakhir sampai pada perjuangan Kartini saja. Padahal cerita-cerita perjuangan Kartini tidaklah sesederhana itu. Walau Kartini dianggap sebagai konseptor atas sejarah modern Indonesia, Kartini ternyata enggan disebut-sebut dengan titel Raden Ajeng.


“Panggil Aku Kartini Saja!”, salah satu kutipan kalimat dalam surat yang ditulis Kartini, diambil oleh Pramoedya Ananta Toer untuk judul karyanya sebagai rasa kagum dan penghargaannya kepada Kartini. Kartini digambarkan oleh Pram menjadi seseorang yang enggan jumawa terhadap segala sesuatu yang telah diperjuangkan. Biografi ini disusun sebagai pembuktian tentang kehidupan Kartini yang lebih detail, dan disajikan dalam berbagai cara pandang. Lewat beberapa kutipan surat yang turut disertakan, Pram memberikan kehidupan yang nyata dalam ceritanya. Ia tidak hanya menyajikan Kartini sebagai sosok dari segi pejuang dalam bidang sosial, ekonomi, politik, tetapi ia juga telah menghubungkan Kartini dengan kehidupan kesenian, rohani, bahkan cinta.
***

Kartini pada masa itu digambarkan harus melawan segala sistem dan adat yang identik dengan feodalisme Pribumi. Sebagai anak Pribumi dari ayah seorang Bupati, ia dituntut untuk menaati segala yang menjadi kehendak ayahnya, atau yang telah menjadi adat budayanya. Di awal bab buku ini, Pram sengaja mengajak kita untuk masuk terlebih dahulu pada suasana penjajahan yang terjadi menimpa leluhur Kartini. Kemudian cerita mulai mengalir pada masa-masa penderitaan Kartini yang mengalami diskriminasi baik di keluarganya maupun di sekolah.
Kartini sempat beruntung bisa merasakan sekolah meskipun ia mengalami kesulitan dalam berbahasa Belanda. Toh pada akhirnya,kita akan tahu bahwa Kartini pun harus menyatakan bahwa “Hanya dengan pengetahuan salah sebuah bahasa Eropa dan pertama-tama tentu saja bahasa Belanda, untuk sementara lapisan atas masyarakat Pribumi dapat dibawa ke arah kecerdasan , ke arah kebebasan jiwa!”(halaman 230).
Tidak seperti cerita biografi Kartini yang lain, dalam buku ini Pram mencoba menjelaskan bagaimana ia harus menjaga kisah cintanya pada sang ayah dan keluarga, sehingga ia terpaksa harus tetap menelan pil sistem feodal yang sangat dibencinya. Pergulatan batin Kartini memang telah membuat orang-orang disekitarnya meragukan kondisi kejiwaan Kartini. Perjuangan seorang diri dengan berbagai ajaran yang pernah ia simak, membuatnya memiliki pandangan yang cenderung pluralis, Kartini bahkan bisa disebut sebagai muslim yang enggan beribadah dengan cara agamanya.

Selain itu, Pram juga menaruh perhatian pada kehidupan Kartini sebagai seniwati. Pram membedah kecerdasan Kartini melalui buku-buku yang telah dibacanya, dan karya seni yang telah diciptakannya. Kartini juga telah membuktikan adanya persahabatan lintas negara yang membawa titik terang gerakannya.

Lepas dari kekurangan yang telah dilakukan Pram lewat karya ini, memang sudah seharusnya kita membuka mata kita pada kisah Kartini yang sebenarnya menyimpan banyak inspirasi lebih dari sekadar panggilan Raden Ajeng Kartini, panggilan yang dianggap kembali memberikan kekangan pada Kartini. Kartini seharusnya menjadi pendorong kita bahwa kita harus maju, bukan mundur : semua harus dimulai dengan berani ! Barang siapa tidak berani , dia tidak bakal menang !

Ditulis oleh Putri Adityowati

Resensi Buku “Bikin Film, Kata 40 Pekerja Film!”


          Penulis                  : Prima Rusdi
Penerbit                : Majalah Hai (Jakarta)
Tahun Penerbitan   : 2007
Tebal Buku             : vii + 247 halaman
Harga                    : Rp 55.000,00

Satu kata yang terucap setelah membaca buku ini : “Wow!”. Jarang ada majalah atau mungkin satu-satunya di Indonesia yang menerbitkan buku tentang film. Apalagi hal-hal yang dibahas bisa dibilang lengkap. Semua tahapan dalam pembuatan sebuah film dibahas di buku ini. Mulai dari tahap pra produksi, tahap produksi, tahap pasca produksi, hingga tahap pemutaran (publicist).

Buku ini tidak seperti buku-buku kebanyakan yang membahas hal serupa. Konsep yang disajikan dalam buku ini bukan cerita narasi atau teks book tetapi hasil wawancara antara si penulis yang juga merupakan penulis skenario, Prima Rusdi, dengan beberapa sineas atau film maker Indonesia. Gaya bahasanya santai, ringan, dan mudah dipahami. Sebenarnya wawancara dalam buku ini lebih bersifat obrolan. Obrolannya pun tidak berat, seperti obrolan biasa saja antara teman yang sudah akrab. Walaupun begitu, obrolan tersebut tetap berbobot dan tetap memberikan informasi yang inspiratif bagi para film maker Indonesia khususnya pemula.

Buku ini terbagi dalam empat pembahasan tentang tahap pembuatan sebuah film, yakni tahap pra produksi, produksi, pasca produksi, dan pemutaran (publicist). Di masing-masing tahap, ada wawancara dengan orang-orang yang biasanya berperan di tahap tersebut. Misalnya, dalam tahap pra produksi, Prima Rusdi mewawancarai orang-orang yang berprofesi sebagai produser (seperti Mira Lesmana, Nia Dinata, Shanty Harmain, dan Erwin Arnada), sutradara (Riri Riza, Ody C. Harahap, dan Dimas Djayadiningrat), dan penulis scenario (Salman Aristo, Monty Tiwa, dan Rayya Makarim). 

Setiap orang ditanyai tentang pengalaman mereka selama bergelut dengan profesinya masing-masing. Banyak pengalaman unik dan menarik yang mereka alami selama bekerja bekerja di dunia film. Misalnya pengalaman yang pernah dialami oleh Erwin Ernada (produser ) yang pernah menerima naskah film dari calon penulis baru. Si calon penulis baru ini berkata padanya, “ Mas Erwin, kalau Mas enggak mau ngambil skrip ini, saya bakal kasih ke Miles!”. 

Atau pengalaman hampir serupa yang pernah dialami Nia Dinata. Suatu saat ada calon penulis baru yang salah mengirim naskah film padanya. Sebenarnya, si calon penulis itu bermaksud mengirimkan naskah pada Riri Riza tetapi dialamatkan kepada ke kantor Nia Dinata. “Udah nulis namanya salah, alamatnya salah pula, ” ujar Nia Dinata sambil menahan tawa.

Hal-hal tadi adalah sebagian kecil yang diceritakan para sineas film dalam buku ini. Masih banyak hal-hal menarik lainnya yang bisa ditemukan dalam buku ini. Buku Bikin Film, Kata 40 Pekerja Film! adalah buku yang menarik dan bisa dijadikan rekomendasi bacaan. Orang-orang yang memang tertarik dan ingin bergelut dengan dunia film, bisa mendapatkan banyak informasi dari para sineas film ternama yang ada dalam buku ini. Pengalaman dan informasi yang disajikan dalam buku ini tidak terkesan menggurui tetapi lebih bersifat obrolan santai atau sharing cerita antar para sineas film Indonesia. 

Ditulis oleh: Rezki Apriliya Iskandar (210110080041)



Minggu, 13 Juni 2010

Sastrawan Sunda Masa Kini


Sosoknya sederhana. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum membuat orang-orang merasa nyaman bila mengobrol dengannya.  Namun, dibalik semua itu ia bukanlah sosok yang biasa. Mamat Sasmita atau yang akrab dipanggil Uwak Sasmita adalah penggiat dan pemilik Rumah Baca Buku Sunda yang lokasinya berada di Margawangi, Bandung. Uwak Sasmita juga menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah lokal Bandung berbahasa Sunda, Cupumanik, dari tahun 2009 hingga sekarang.
     Uwak Sasmita lahir di Tasikmalaya, 15 Mei 1951. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Uwak Sasmita menikah dengan istrinya, Siti Salsiah pada akhir 1980. Dari pernikahannya itu, mereka dikarunai putri semata wayang yang bernama Rahmah Firstiana yang kini masih kelas satu SMP.
Lingkungan masa kecil Uwak Sasmita di Tasikmalaya diwarnai dengan banyak gerakan pemberontakan DI/TII. Saat itu orang tuanya berpendapat jika mereka sekeluarga masih bertahan tinggal di Tasikmalaya, keselamatan dan keamanan mereka pun akan terancam. Hal ini tentu tidak baik bagi masa depan Uwak Sasmita dan saudara-saudaranya. Oleh karena itu, saat tahun 1953 atau saat Uwak Sasmita berumur dua tahun, keluarganya memutuskan pindah dan menetap di Cibogo, Bandung.
     Uwak Sasmita tinggal dan sekolah di Bandung hingga SMA. Namun, ia tidak meneruskan ke bangku kuliah melainkan mendaftarkan diri ke pendidikan khusus yang bersifat ikatan dinas milik Telkom pada 1972. Ia mengambil jurusan teknologi transmisi. Uwak Sasmita lulus pada tahun 1975 dan setelah itu ia langsung diikutsertakan dalam proyek pembuatan Satelit Palapa di bagian teknisi sistem komunikasi satelit domestik. Karena proyek ini, Uwak Sasmita ditugaskan ke beberapa daerah di Indonesia seperti Pontianak, Jambi, Fak-Fak (Papua), Lombok, Flores, Denpasar, Jakarta, dan Bandung. Pada tahun 2007 ia pensiun dari pekerjaannya. Setelah itu, ia lebih memfokuskan dirinya untuk mengelola Rumah Baca Buku Sunda yang dahulu sempat ia dirikan saat masih bekerja, pada tahun 2004.

Uwak Sasmita dan Rumah Baca Buku Sunda
Rumah Baca Buku Sunda (RBBS) tidak bisa dipisahkan dari pendirinya, Uwak Sasmita, begitu pula sebaliknya. RBBS yang ia dirikan pada Februari 2004 bermula dari kegemarannya membaca buku sejak kecil terutama buku-buku Sunda.  
Awalnya, saat kecil Uwak Sasmita dan saudara-saudarnya suka dibacakan buku oleh orang tua mereka terutama saat bersantai di sore hari. Maklum, dahulu hiburan yang tersedia sangat sedikit. Jadi, satu-satunya hiburan yang ada adalah mendengarkan orang tua membacakan buku untuk mereka. Setelah lancar membaca, baru lah Uwak Sasmita membaca buku sendiri. Jadi, ketertarikan Uwak Sasmita dan saudara-saudaranya terhadap buku, sudah tertanam sejak kecil di kelurganya.
Di antara saudaranya, Uwak Sasmita lah yang gemar mengoleksi buku terutama buku-buku Sunda. Setelah memiliki penghasilan sendiri, ia makin sering membeli buku-buku tersebut dan mengoleksinya. Hingga kini, koleksi bukunya di RBBS sudah mencapai 8000 buku dan bahkan menurutnya jumlah tersebut masih kurang untuk sebuah rumah baca. Dalam mengoleksi buku, sebenarnya tidak ia paksakan harus punya judul tertentu. “Mengalir saja, nggak dipaksakan harus berburu buku,” ujarnya.
Dengan RBBS yang ia miliki, Uwak Sasmita berharap rumah bacanya bisa makin menambah koleksi buku-buku yang tentunya makin beragam dan dinikmati oleh orang-orang. Ia juga berharap RBBS tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan atau tempat membaca buku, tetapi juga bisa sebagai tempat pengdokumentasian karya sastra Sunda. Hal ini agar RBBS bisa memenuhi rasa ingin tahu dan “rasa haus” masyarakat terhadap karya sastra Sunda, terutama karya sastra Sunda terbitan lama.

Uwak Sasmita dan Sastra Sunda
Kebiasaannya dan ketertarikannya dalam membaca buku-buku Sunda sejak kecil menjadi dasar ketertarikannya terhadap sastra Sunda terutama yang membahas kebudayaan Sunda sendiri.
“ Kecintaan saya terhadap sastra Sunda sangat besar terutama yang membahas tentang kebudayaan Sunda. Kalau saya tidak mengakui sebagai orang sunda, lalu saya harus mengaku sebagai orang apa. Bukankah pengakuan itu nantinya mempengaruhi seseorang untuk lebih mengenal budayanya. Kasarnya, saya tinggal dan makan di sini (di daerah Sunda). Konsekuensinya, saya harus mengenal budaya Sunda, budaya saya sendiri,” ujarnya panjang lebar.
Karena ingin mengenal dan memahami budaya sendiri, Uwak Sasmita mulai menulis tentang hal tersebut dari “kaca matanya”, dari apa yang ia ketahui selama ini. Sebagian besar tulisannya berbentuk artikel dan sudah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah, terutama terbitan lokal seperti Kompas Jawa Barat, Pikiran Rakyat, Tribun Jawa Barat, majalah Cupumanik, dan majalah Mangle.   


 Tulisan esai-nya, “Wilujeng 70 Taun Kang Ajip, … Parantos Tuang?” juga dimuat dalam buku Jejak Langkah Urang Sunda 70 Tahun Ajip Rosidi yang diterbitkan PT. Kiblat Buku Utama pada Januari 2008. Esai lainnya dengan judul “Bedog: Pakarang Urang Sunda” dimuat pula dalam kumpulan esai Kujang, Bedog, dan Topeng yang diterbitkan Pusat Studi Sunda pada Agustus 2008.
Uwak Sasmita mulai aktif menulis sejak pensiun bekerja di Telkom. Setelah itu, ia bisa dibilang sebagai penulis yang cukup aktif dalam menghasilkan karya-karyanya. Salah satu keinginan terpendamnya yang belum terwujud dalam dunia tulis menulis adalah membuat buku karangan pribadi. Ia berkeinginan suatu saat nanti bisa membuat buku tentang senjata khas Sunda, Bedog atau golok. Menurutnya, hal tersebut sangat menarik.
Saat ditanya pendapatnya tentang perkembangan karya sastra Sunda saat ini, ia menjawab,
“Saat ini, perkembangan sastra Sunda tidak terlalu pesat tetapi juga tidak terlalu lambat. Pelan-pelan saja. Menurut saya, sastra Sunda tampaknya lebih cenderung pada romantisme masa lalu. Tidak bersifat kekinian atau memuat hal-hal yang relevan dengan masa kini. Mungkin hal in yang membuat sastra Sunda tertinggal dengan sastra Indonesia atau sastra asing,”
Tambahnya, “Sastra Sunda kurang mewadahi atau kurang menggambarkan realitas kehidupan orang Sunda yang terjadi saat ini. Seperti realitas politik yang tidak memungkiri juga mempengaruhi kehidupan orang Sunda sebagai warga negara. Jarang ada yang menulis tentang hal tersebut apalagi para penulis yang berbasis Sunda. Para penulis ini lebih banyak menuliskan tentang romantisme masa lalu. Jadi, bisa dibilang kalau kejadian-kejadian aktual yang terjadi sekarang ini, sangat lambat “direspon” oleh sastra Sunda. Tetapi, terlepas dari itu semua, masyarakat khususnya mahasiswa mulai banyak yang tertarik dengan sastra Sunda”.
Uwak Sasmita berharap, para penikmat sastra Sunda tidak hanya sekadar “menikmati” tetapi juga bisa melakukan hal lebih terhadap sastra Sunda, misalnya dengan menghasilkan karya-karya yang bersangkutan. Ia juga sangat berharap, karya sastra Sunda tidak hanya dikenal di kalangan masyarakat Sunda atau masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat dunia sehingga “jejak” karya sastra Sunda tidak menghilang dari kehidupan masyarakat.

 Ditulis oleh: Rezki Apriliya Iskandar (210110080041)





Bukan Sebuah Rumah Biasa

Sekilas dari luar, rumah ini sama dengan rumah-rumah lain yang ada di sekitarnya. Namun, ada satu hal yang membuatnya berbeda. Rumah milik Mamat Sasmita (pemimpin redaksi majalah lokal berbahasa Sunda, Cupumanik) ini bukan hanya merupakan rumah pribadi tetapi berfungsi sebagai rumah baca. Dengan nama Rumah Baca Buku Sunda (Jeung Sajabana), rumah baca ini berlokasi di sebuah kompleks perumahan asri tepatnya di Perumahan Margawangi, Jalan Margawangi VII No. 5, Margacinta, Bandung, Jawa Barat.
Rumah Baca Buku Sunda atau yang disingkat RBBS mulai dibentuk sekitar Februari 2004. Awalnya RBBS merupakan perpustakaan pribadi milik Mamat Sasmita. Sebelumnya, Mamat Sasmita atau yang akrab dipanggil Uwak Sasmita merasa koleksi bukunya sudah semakin banyak dan rasanya sayang bila hanya dibaca sendiri.  Ia pun memutuskan untuk menjadikan perpustakaan pribadinya sebagai rumah baca buku untuk umum. 

Koleksi buku di RBBS berjumlah sekitar 8000 buah dan 3000 buah diantaranya adalah karya sastra Sunda seperti novel, kumpulan cerita pendek, kumpulan esai, kumpulan puisi dan sajak, dan ada juga yang membahas tentang kebudayaan Sunda. Koleksi buku Sunda di RBBS tidak hanya buku-buku tentang sastra dan kebudayaan Sunda yang berbahasa Sunda saja. Ada juga buku-buku yang membahas hal sama tetapi disajikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain seperti bahasa Inggris. Selain itu, ada pula buku-buku umum yang merupakan sastra Indonesia, sastra berbahasa asing seperti bahasa Inggris, dan sastra terjemahan. Buku-buku yang ada biasanya dibeli dari para penjual buku loak di Bandung seperti yang ada di daerah Palasari, Dewi Sartika, Cikapundung, Cibeunying, dan Jatayu. Selain membeli sendiri, koleksi buku juga didapatkan dari sumbangan pihak luar dan biasanya buku-buku bertemakan sastra serta kebudayaan.

Beberapa koleksi buku Sunda di RBBS:

  • Kamoes Basa Sunda karangan R. Satjadibrata yang diterbitkan Bale Poestaka pada tahun 1948.
  • Kamus Sunda-Inggris yang disusun Jonathan Rigg, (anggota The Batavia Society of Arts and Sciences) dan diterbitkan Batavia Lange & Co pada tahun 1862.
  • Buku puisi Sawer Bahasa Sunda yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Novel Sunda Sebelum Perang karangan Yus Rusyana.
  • Dipati Ukur Djilid 4 yang diterbitkan Daja Sunda Pusat.
  •  Jagad Carita (Kandaga Carpon Dunya) karangan Hawé Setiawan.
    RBBS dibuka setiap hari mulai pukul 07.00-20.00 WIB. Pengelolaan RBBS pada dasarnya dikelola oleh Uwak Sasmita sendiri. Namun, biasanya ada pula bantuan dari pihak luar seperti mahasiswa, untuk mengelola RBBS secara sukarela. 
    Di RBBS tidak ada aturan untuk menjadi anggota atau semacamnya. Orang-orang bisa dengan bebas mengunjungi RBBS, membaca buku-bukunya, dan meminjamnya tanpa dipungut bayaran. Mereka dibolehkan meminjam buku asalkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Walaupun dengan sistem seperti ini hampir tidak ada kasus, misalnya buku yang dipinjam tidak dikembalikan lagi. Kalau pun ada, hanya berjumlah satu kasus saja sejak RBBS didirikan pada 2004. 
    Pengunjung RBBS beragam, diantaranya orang tua, murid-murid sekolah (SD, SMP, atau SMA), mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya. Biasanya orang tua mencari buku-buku Sunda terbitan lama yang mungkin pernah mereka baca saat masih kecil atau remaja. Bisa dibilang semacam nostalgia masa lalu.
    Kalangan murid sekolah biasanya mencari buku-buku Sunda dan novel Sunda untuk referensi tugas resensi mereka. Kalanga mahasiswa juga ada yang mencari novel-novel Sunda, seperti yang biasanya dilakukan mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Ada pula yang mencari buku-buku tentang budaya Sunda untuk tugas penelitian mereka seperti yang biasanya dilakukan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Disain ITB serta mahasiswa jurusan Sastra Sunda dan Sastra Indonesia dari Unpad dan UPI Bandung.
              Di RBBS juga biasanya mengadakan kegiatan bedah buku atau biasa disebut sebagai tadarusan, terhadap karya-karya penulis tertentu khususnya para penulis yang berbasis budaya Sunda. Tadarusan yang sudah dilakukan adalah tadarusan karya-karya Ajip Rosidi dan rencana selanjutnya adalah tadarus karya-karya Saini K. M. Kegiatan ini dibuka untuk umum dan gratis. Sebagian besar pengunjung yang ikut dalam acara ini adalah para mahasiswa. Tujuan RBBS mengadakan kegiatan tadarusan adalah sebagai ajang tukar pikiran dan informasi serta ajang penyegaran pikiran di antara penggemar karya sastra, khususnya sastra Sunda.
    RBBS bisa dibilang seperti “oase” di tengah langkanya rumah baca buku, khususnya yang menyediakan buku-buku Sunda. Walaupun begitu, menurut Uwak Sasmita, koleksi buku RBBS yang berjumlah sekitar 8000 buah masih terbilang kecil bagi sebuah rumah baca. Ia mengaku, masih banyak karya sastra Sunda yang sebenarnya ingin ia cari lagi tetapi kini susah untuk mendapatkannya karena  diantaranya ada yang merupakan terbitan lama tidak diterbitkan lagi. Uwak Sasmita berharap keinginannya itu bisa terwujud suatu saat nanti. Ia juga berharap RBBS tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan atau tempat membaca buku, tetapi juga bisa sebagai tempat pengdokumentasian karya sastra Sunda. Hal ini agar BBS bisa memenuhi rasa ingin tahu dan “rasa haus” masyarakat terhadap karya sastra Sunda, terutama terbitan lama.

    Ditulis oleh: Rezki Apriliya Iskandar (210110080041)














    Budaya Merokok di Indonesia

    Perang nikotin yang diungkapkan Wanda serta aktivis yang kritis terhadap kampanye ini, secara langsung berdampak kepada kehidupan negara kita sendiri. Akibat kampanye ini, Indonesia seperti mengalami de-industrialisasi negatif, dimana industri dalam negeri ditekan , dan impor dinaikkan. Sejumlah pabrik rokok kretek di Indonesia terpaksa tutup karena kalah saing dengan produk tembakau asing.

    Padahal, menurut Ketua Dewan Pertimbangan HKTI, Siswono Yudhohusodo, tembakau dan hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. “Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta. (dicuplik dari NERACA, Pahit Legit Nasib Petani Tembakau, 6 Maret 2010).

    Yang sangat menyedihkan bahwa ditengah masifnya kampanye anti tembakau tersebut, jumlah impor tembakau justru meningkat. Bahkan, rokok impor yang ke Indonesia pun mencapai 520.000 ton per tahun. Hal ini sungguh menyakitkan bagi para pengusaha rokok lokal yang sudah ketar-ketir untuk mempertahankan usahanya karena dikenai pajak cukai yang terus melambung. Beberapa harus rela melepas karyawannya hingga meningkatkan jumlah pengangguran.

    Jika saja pemerintah dan masyarakat sadar akan bahaya laten dari kampanye ini, mungkin kita tidak akan lagi merasa bodoh sudah ditunggangi para pedagang obat yang sedang kipas-kipas uang.
    “Budaya itu seharusnya dilindungi lho, bukan dihentikan. Ayo, ayo, daripada stres mending rokok roro mendut saja,” begitulah kata Whani Darmawan berpariwara melalui monolog Roro Mendut.
    Bukan bermaksud untuk memperbolehkan atau melarang para perokok melakukan kebiasaannya, kampanye anti tembakau ini sebenarnya memang perlu dikaji lebih dalam. Disatu sisi , kita memang seringkali merasa terganggu dengan para perokok yang mengeluarkan asap rokoknya dimuka umum. Tetapi , bukankah itu berarti kita hanya terganggu dari ulah si perokok? bukan tembakaunya kan ?

    Nah, propaganda ini tampaknya semakin jelas sisi kepentingan bisnis dan politiknya. Menurut Gabriel Mahal (seorang advokat dan pengamat Prakarsa Bebas Tembakau) dalam diskusi dan launching buku Nikotin War di Unpad Jatinangor, Kamis lalu(9/6), propaganda anti tembakau ini telah melanggar tiga kebebasan manusia , yaitu :
    1. Kebebasan untuk memilih (free of choice)
    2. Kebebasan untuk merasakan (free to fill)
    3. Kebebasan untuk menceritakan kebenaran (free to tell the truth).

    Saya tertawa ketika moderator dalam Launching buku Nikotin War di Unpad, Ridlo Eisly bilang begini :
    “Siapa yang mau beli makanan yang menyebabkan impoten, serangan jantung, dan gangguan janin ? Pasti nggak akan ada yang mau beli. Tapi, kalau rokok ? sudah ditulis di setiap bungkusnya, tetap saja orang pada membelinya.”
    Ya, jadi apa mau dikata?rokok seperti sudah menjadi bagian hidup manusia. Pilihan untuk merokok atau tidak merokok adalah hak bagi setiap orang. Kalau orang itu sudah memahami tentang betapa berharganya nikmat yang lebih enak daripada rokok tentu ia akan tidak memilih untuk tidak merokok. Mungkin saja ia akan lebih memilih menikmati hidup sehat tanpa tembakau yang berlebihan, dan menyenangkan orang-orang disekitarnya karena tidak ada asap yang mengganggu. (PA/110080043)

    Ditulis oleh Putri Adityowati
    setelah meliput diskusi dan launching buku Nicotine War di GOR Pakuan, Unpad Jatinangor, Kamis (9/6). 

    sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com/_0vrmBOgwJEA/TAS1svJtT_I/AAAAAAAAB2Y/xzX8JFzSscg/s1600/undangan+nicotine+war.jpg

    Mengenal Sejarah Propaganda Anti Tembakau

    Apa yang kita ingat setiap tanggal 31 Mei ? Apakah itu hari ulang tahun orang-orang tersayang? Atau ingatkah Anda tentang Hari Anti Tembakau yang mulai tahun 1980 mulai gencar dipublikasikan? Berita-berita di media massa dengan judul  Menkes: Jangan Merokok Setiap 31 Mei; Hari Anti Tembakau, Mahasiswa Bagikan Bunga, atau Depkes Gelar Aksi Simpatik Peringati Hari Anti Tembakau Sedunia, selalu menghiasi kolom surat kabar atau tayangan video berita di Televisi setiap tanggal 31 Mei. 


    Saya pun mulai mengenal Peringatan Hari Anti Tembakau Sedunia ini ketika saya sudah mulai membaca majalah Gadis, yang saat itu memberikan hadiah berupa kalender. Di kalender itu, terdapat beberapa hari peringatan sebuah peristiwa atau agenda yang disepakati secara internasional, salah satunya yaitu Hari Anti Tembakau Sedunia. Hal ini terbukti bahwa kampanye hari anti tembakau sedunia sudah menyebar secara luas dan tidak terbatas. Orang-orang dari segala umur mulai mendukung aksi kampanye ini melalui berbagai cara. Anak-anak pun mulai mendukung aksi ibunya untuk meminta ayahnya berhenti merokok. Ibu itu bahkan rela membelikan sejumlah obat ke klinik konsultasi pecandu rokok agar suaminya bisa membiasakan diri jauh dari ketergantungan terhadap hasil olahan tembakau itu. 



    Beberapa waktu yang lalu, kita juga sempat digemparkan oleh sebuah fatwa dari MUI,yang menyebutkan bahwa merokok itu haram hukumnya. Alasan MUI mengeluarkan fatwa ini yaitu karena merokok dinilai hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Tetapi, pantaskah MUI secara sepihak membuat fatwa tersebut sedangkan banyak anggotanya yang juga masih merokok dan bahkan pecandu rokok? Pihak-pihak dari kedokteran dan farmasi ternyata juga mempunyai cara tersendiri untuk membantu kampanye anti tembakau ini. Mereka seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan tentang bahaya rokok atau tembakau bagi kesehatan manusia. Sejumlah acara yang bertemakan kesehatan didukung penyelenggarannya dengan sekaligus mengkampanyekan anti tembakau ini. Beberapa kota di Indonesia pun sudah mulai membuat regulasi tentang kawasan anti rokok berupa Peraturan Daerah . Diantaranya yaitu,  Palembang, DKI Jakarta, Bogor, Surabaya, Padang Panjang Sedangkan provinsi yang telah mensosialisasikan dan merencanakan KTR adalah Sumatra selatan, Sumatra Barat, Bali, Kalimanatn Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. 






    Kampanye dunia tentang anti tembakau dan olahan tembakau ini sebenarnya punya sejarah yang cukup panjang. Segala sesuatu pasti mempunyai latar belakang, serta maksud dan tujuan , bukan? Nah, ketika kita telah mengetahui tentang sejumlah kampanye anti tembakau di seluruh belahan dunia, sudahkah kita menyadari tentang maksud dan kajian-kajian lebih dalam mengenai kampanye ini?



    Nicotine War : Perang Nikotin dan Perang Pedagang Obat


    Menurut buku karangan Wanda Hamilton (seorang mantan jurnalis, penulis, administrator kelompok kemanusiaan, dan pensiunan akademisi) yang berjudul Nicotine War (terbit Mei 2010), serangkaian aktivitas kampanye mengenai anti tembakau di dunia ini sebenarnya telah dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis bagi perusahaan-perusahaan farmasi besar di dunia.



    Awal perkembangan kampanye perilaku anti tembakau dan rokok ini berasal dari pengembangan produk nikotin “alternatif” yang dilakukan oleh para ilmuwan Pharmacia (perusahaan farmasi multinasional terkemuka), sejak 1962. Pharmacia memang merupakan perusahaan farmasi pertama yang mengahasilkan produk untuk terapi penggantian nikotin. Perusahaan ini mengembangkan permen karet nikotin sejak 1971. Kesuksesan penemuan ini akhirnya mendorong perusahaan farmasi lain untuk menemukan nikotin alternatif. Hingga awal 1980-an, perkembangan itu terus meningkat dan dipasarkan secara bebas serta atas resep dokter.


    Namun, peristiwa terpenting yang mengubah produk-produk pembantu berhenti merokok yang relatif tidak efektif itu menjadi emas murni adalah laporan Surgeon General C. Everett Koop tahun 1988, “Dampak Kesehatan Merokok : Kecanduan Nikotin.” Sebelum terbitnya laporan ini, seluruh laporan sebelumnya dari Surgeon General mencirikan nikotin dalam tembakau sebagai “mendorong kebiasaan” (habituating). Sedangkan laporan tahun 1988 itu secara efektif mengubah definisi ketagihan (addiction) sehingga mencakup nikotin dalam produk-produk tembakau. Dengan demikian , “kebiasaaan” merokok berubah menjadi suatu “ketagihan” yang perlu “ditangani” oleh ahli terapi perilaku dan dengan sarana obat-obatan yang membantu berhenti merokok. (Wanda Hamilton, 2010:4)
    Itulah mengapa perusahaan farmasi tersebut gencar untuk membuat penemuan untuk mengendalikan produk-produk tembakau. Mereka berhasil menggaet lembaga-lembaga kesehatan publik, bahkan WHO.


    Berikut ini adalah upaya yang dilakukan para pedagang obat (perusahaan farmasi) dalam menjalin kerjasama dengan lembaga kesehatan publik untuk program anti tembakau :
    1. Menaikkan pajak tembakau sehingga harga produk-produk lebih kompetitif dibandingkan produk tembakau.
    2. Melekatkan cap jahat terhadap industri tembakau dan melarang iklan produk-produk mereka.
    3. Memberlakukan larangan merokok untuk memaksa para perokok agar berusaha berhenti merokok dengan menggunakan produk-produk farmasi atau memakai produk-produk pengganti nikotin sebagai penyulih di saat mereka tak dapat merokok.
    4. Mempromosikan berhenti merokok dan penanganan kecanduan nikotin.
    5. Mempromosikan rangkaian penanganan lengkap bagi kecanduan nikotin melalui asuransi kesehatan negeri maupun swasta. (Wanda Hamilton , 2010 : 6)


    Lalu, mengapa nikotin yang terdapat dalam tembakau itu dilarang untuk diolah menjadi rokok tetapi kemudian diolah menjadi nikotin alternatif yang diduga berhasil sebagai saran bantu berhenti merokok maupun obat untuk aneka penyakit. Menurut Jack Henningfeld (ahli farmakologi, konsultan untuk Smithkline Beecham), Nikotin adalah zat kimiawi yang mencengangkan.




    Sedangkan pernyataan yang cukup membuat kita tercengang yaitu, menurut John Josselyn tentang pemanfaatan tembakau sebagai obat, tembakau ternyata dapat melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi melalui bau-bauan. Tembakau menghangatkan yang kedinginan, sekaligus menyejukkan mereka yang berkeringat , menimbulkan rasa kenyang bagi yang kelaparan, memulihkan semangat yang loyo, mencegah nafsu makan, membunuh kutu rambut dan telurnya. Tumbukan daun hijaunya , meski beracun menyembuhkan luka akibat sakit gangren. Tembakau juga bisa dibikin sirup untuk aneka penyakit; dijadikan asap untuk sakit tuberkolosis, batuk paru-paru; diupakan untuk sakit rematik, dan semua penyakit akibat hawa dingin dan lembab; bagus untuk badan yang terkena dingin dan lembab dengan meletakkannya di atas perut kosong; jika ditaruh di atas perut kenyang, ia melancarkan pencernaan.
    Industri farmasi tentu melihat hal tersebut sebagai sebuah peluang bisnis yang amat sangat menggiurkan. Bahkan anggapan yang mereka yakini sampai saat ini yaitu, dengan bisnis nikotin alternatif ini, tidak hanya gerakan anti tembakau saja yang akan mereka kuasaim, tetapi juga gerakan untuk bidang kesehatan yang lain. Dengan begitu, mereka akan terus memasarkan produk-produk andalannya, dan terus menekan bahan-bahan alamiah yang mereka anggap sebagai sumber penyakit, seperti tembakau. (PA/110080043)

    Ditulis oleh Putri Adityowati
    dari buku Nicotine War:
    Penulis           : Wanda Hamilton
    Penerjemah    : Sigit Djatmiko
    INSISTPress, Yogyakarta.


    Sumber gambar :
    http://ksupointer.com/wp-content/uploads/2009/06/Industri-Rokok.jpg
    http://septaryanhidayat.files.wordpress.com/2009/04/smoking1.jpg

    Sabtu, 12 Juni 2010

    Investasi Ganda dengan Menulis Resensi Buku

    Pernah kah pembaca berpikir jika hobi membaca buku bisa dijadikan sebagai sebuah investasi dengan hasil yang lumayan tinggi ? Jika Anda menjawab apakah itu hal yang mungkin ? Ya. Pasti mungkin dan bisa. Lalu bagaimana ? dengan berjualan buku ? Ah itu sudah biasa. Saat ini sudah terlalu banyak perseorangan, komunitas atau lembaga yang membuka usaha penjualan buku. Usaha itu bisa dilakukan dengan berbagai cara dan media , bisa langsung di jual dari mulut ke mulut, lapak keliling, atau melalui situs dalam jaringan (on line) yang kian marak. Penjualan buku dengan cara seperti ini tentunya tidak menuntut para penggiat buku (orang yang hobi membaca buku) untuk mendalami buku terlebih dahulu. Hasil dari hobi membaca buku tidak terlalu memberi efek yang signifikan dalam usaha ini. Toh, yang paling dibutuhkan dalam usaha ini justru strategi pemasaran kan ? Kalau begitu, usaha ini kami rasa kurang cocok bagi Anda para penggiat buku yang tidak memiliki bakat berjualan yang baik, tetapi memiliki bakat menganalisis yang baik . 

    Jadi apakah usaha yang cocok untuk para penggiat buku untuk mendapatkan uang dari hasil kecintaannya membaca  buku ?

    Resensi Buku

    Ya, menulis resensi buku, adalah suatu usaha alternatif bagi para penggiat buku untuk mendapatkan hasil material dari hobinya. Para penggiat buku dapat menulis sebuah resensi tentang buku yang baru saja terbit, dibeli, dan dibacanya. Penggiat buku seperti Anda, tentu tidak perlu bersusah-susah menawarkan buku yang bukan hasil tulisan Anda kepada orang lain untuk mendapatkan penghasilan. Bukankah Anda bukan bagian dari para penerbit buku itu ? dan bukankah Anda tidak mendapatkan honor sedikitpun dari penerbit atau langsung dari penulisnya ? Jadi, mengapa Anda bersusah-susah mempertahankan usaha tersebut untuk mendapatkan penghasilan ?Dengan menjadi penulis resensi buku, Anda berdiri jauh dari hal-hal yang merepotkan itu.

    Penulis resensi buku hanya perlu memahami isi buku secara keseluruhan dan tekun untuk mengikuti makna yang dihendaki penulisnya. Penulis pun dituntut untuk kritis melihat berbagai aspek penulisan buku yang diresensi , hingga sedetail mungkin. Untuk para pecinta buku, tentu ini akan menjadi menarik walaupun bisa dibilang susah-susah gampang untuk dilakukan. Apalagi, jika saya mengiming-imingi Anda dengan honor untuk peresensi buku yang telah berhasil dimuat di media massa, yaitu :


    1. MBM Tempo Rp 500.000
    2. Harian Kompas: (a) Reguler/Edisi Minggu:  Rp 500.000; (b) Pustakaloka: Rp 1.000.000
    3. Harian Media Indonesia: (a) Utama: Rp 500.000; (b): Kolom kecil/ringkas: Rp 150.000
    4. Harian Jawa Pos:  Rp 450.000
    5. MBM Gatra: Rp 500.000
    6. Harian Seputar Indonesia: Rp 300.000
    7. Harian Koran Jakarta: Rp 300.000
    8. Harian Koran Tempo: Rp 500.000
    9. Harian Sinar Harapan: Rp 145.000 (GM-seperti diinformasikan anggota Syarekat Buku yang berpengalaman meresensi buku di koran: Damhuri Muhammad, Hernadi Tanzil, Nur Mursidi).

    Apakah Anda belum cukup tertarik dengan tawaran cukup menggiurkan di atas?
    Honor di atas tentunya lebih dari cukup bagi Anda yang mencintai buku, dan berkeinginan untuk mengembangkan hobi Anda itu. Dengan meresensi buku, keuntungan yang berlipat ganda akan Anda dapatkan.

    Penggiat buku tidak perlu lagi merasa kehilangan buku yang dicintainya karena harus dijual atau diberikan kepada orang lain untuk mengajaknya mengkritisi buku itu bersama-sama. Ia hanya perlu menuliskan tentang apa saja yang terdapat dalam buku itu di dalam resensinya. Selain itu ia bebas menulis pandangannya mengenai isi buku, bahkan sampai karakteristik pengarang. Hal itu tentu tidak terikat sama sekali dengan motif  marketing sebuah buku. 

    Dari menulis resensi buku, penggiat buku juga akan lebih tertantang untuk terus-menerus membeli buku, membaca dan menganalisisnya. Jika resensi berhasil dimuat di media massa, selain kebanggan diri atas tulisan pribadinya, ia pun akan mendapatkan suntikan honor untuk kembali membeli buku. Proses ini akan terus berputar jika penggiat buku terus rajin menguasai isi buku-bukunya.

    Mungkin ada orang yang hanya mencintai buku dengan sekadar membaca, tidak menulis kembali. Hal ini tidak akan menjadi suatu masalah jika hobinya itu bisa lebih diniatkan untuk bisa lebih bermanfaat untuk orang lain. Meresensi buku akan membawa manfaat bagi orang lain karena orang menjadi tahu akan isi buku yang belum dibelinya, dan tertarik untuk ikut juga memahami isi buku lebih detail. Peresensi pun selain mendapat keuntungan rupiah, ia akan mendapatkan daya analisis yang semakin tajam, dan tidak mudah lupa.

    Lalu , apalagi yang Anda ragukan untuk mulai meresensi buku-buku kesayangan Anda? Ayo mulai kembangkan daya analisis dengan tidak sekadar membaca, tetapi dengan menuliskannya kembali. Ayo meresensi buku mulai sekarang.... 

    Ditulis oleh Putri Adityowati,