Gimana isi blog ini ?

Minggu, 13 Juni 2010

Sastrawan Sunda Masa Kini


Sosoknya sederhana. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum membuat orang-orang merasa nyaman bila mengobrol dengannya.  Namun, dibalik semua itu ia bukanlah sosok yang biasa. Mamat Sasmita atau yang akrab dipanggil Uwak Sasmita adalah penggiat dan pemilik Rumah Baca Buku Sunda yang lokasinya berada di Margawangi, Bandung. Uwak Sasmita juga menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah lokal Bandung berbahasa Sunda, Cupumanik, dari tahun 2009 hingga sekarang.
     Uwak Sasmita lahir di Tasikmalaya, 15 Mei 1951. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Uwak Sasmita menikah dengan istrinya, Siti Salsiah pada akhir 1980. Dari pernikahannya itu, mereka dikarunai putri semata wayang yang bernama Rahmah Firstiana yang kini masih kelas satu SMP.
Lingkungan masa kecil Uwak Sasmita di Tasikmalaya diwarnai dengan banyak gerakan pemberontakan DI/TII. Saat itu orang tuanya berpendapat jika mereka sekeluarga masih bertahan tinggal di Tasikmalaya, keselamatan dan keamanan mereka pun akan terancam. Hal ini tentu tidak baik bagi masa depan Uwak Sasmita dan saudara-saudaranya. Oleh karena itu, saat tahun 1953 atau saat Uwak Sasmita berumur dua tahun, keluarganya memutuskan pindah dan menetap di Cibogo, Bandung.
     Uwak Sasmita tinggal dan sekolah di Bandung hingga SMA. Namun, ia tidak meneruskan ke bangku kuliah melainkan mendaftarkan diri ke pendidikan khusus yang bersifat ikatan dinas milik Telkom pada 1972. Ia mengambil jurusan teknologi transmisi. Uwak Sasmita lulus pada tahun 1975 dan setelah itu ia langsung diikutsertakan dalam proyek pembuatan Satelit Palapa di bagian teknisi sistem komunikasi satelit domestik. Karena proyek ini, Uwak Sasmita ditugaskan ke beberapa daerah di Indonesia seperti Pontianak, Jambi, Fak-Fak (Papua), Lombok, Flores, Denpasar, Jakarta, dan Bandung. Pada tahun 2007 ia pensiun dari pekerjaannya. Setelah itu, ia lebih memfokuskan dirinya untuk mengelola Rumah Baca Buku Sunda yang dahulu sempat ia dirikan saat masih bekerja, pada tahun 2004.

Uwak Sasmita dan Rumah Baca Buku Sunda
Rumah Baca Buku Sunda (RBBS) tidak bisa dipisahkan dari pendirinya, Uwak Sasmita, begitu pula sebaliknya. RBBS yang ia dirikan pada Februari 2004 bermula dari kegemarannya membaca buku sejak kecil terutama buku-buku Sunda.  
Awalnya, saat kecil Uwak Sasmita dan saudara-saudarnya suka dibacakan buku oleh orang tua mereka terutama saat bersantai di sore hari. Maklum, dahulu hiburan yang tersedia sangat sedikit. Jadi, satu-satunya hiburan yang ada adalah mendengarkan orang tua membacakan buku untuk mereka. Setelah lancar membaca, baru lah Uwak Sasmita membaca buku sendiri. Jadi, ketertarikan Uwak Sasmita dan saudara-saudaranya terhadap buku, sudah tertanam sejak kecil di kelurganya.
Di antara saudaranya, Uwak Sasmita lah yang gemar mengoleksi buku terutama buku-buku Sunda. Setelah memiliki penghasilan sendiri, ia makin sering membeli buku-buku tersebut dan mengoleksinya. Hingga kini, koleksi bukunya di RBBS sudah mencapai 8000 buku dan bahkan menurutnya jumlah tersebut masih kurang untuk sebuah rumah baca. Dalam mengoleksi buku, sebenarnya tidak ia paksakan harus punya judul tertentu. “Mengalir saja, nggak dipaksakan harus berburu buku,” ujarnya.
Dengan RBBS yang ia miliki, Uwak Sasmita berharap rumah bacanya bisa makin menambah koleksi buku-buku yang tentunya makin beragam dan dinikmati oleh orang-orang. Ia juga berharap RBBS tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan atau tempat membaca buku, tetapi juga bisa sebagai tempat pengdokumentasian karya sastra Sunda. Hal ini agar RBBS bisa memenuhi rasa ingin tahu dan “rasa haus” masyarakat terhadap karya sastra Sunda, terutama karya sastra Sunda terbitan lama.

Uwak Sasmita dan Sastra Sunda
Kebiasaannya dan ketertarikannya dalam membaca buku-buku Sunda sejak kecil menjadi dasar ketertarikannya terhadap sastra Sunda terutama yang membahas kebudayaan Sunda sendiri.
“ Kecintaan saya terhadap sastra Sunda sangat besar terutama yang membahas tentang kebudayaan Sunda. Kalau saya tidak mengakui sebagai orang sunda, lalu saya harus mengaku sebagai orang apa. Bukankah pengakuan itu nantinya mempengaruhi seseorang untuk lebih mengenal budayanya. Kasarnya, saya tinggal dan makan di sini (di daerah Sunda). Konsekuensinya, saya harus mengenal budaya Sunda, budaya saya sendiri,” ujarnya panjang lebar.
Karena ingin mengenal dan memahami budaya sendiri, Uwak Sasmita mulai menulis tentang hal tersebut dari “kaca matanya”, dari apa yang ia ketahui selama ini. Sebagian besar tulisannya berbentuk artikel dan sudah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah, terutama terbitan lokal seperti Kompas Jawa Barat, Pikiran Rakyat, Tribun Jawa Barat, majalah Cupumanik, dan majalah Mangle.   


 Tulisan esai-nya, “Wilujeng 70 Taun Kang Ajip, … Parantos Tuang?” juga dimuat dalam buku Jejak Langkah Urang Sunda 70 Tahun Ajip Rosidi yang diterbitkan PT. Kiblat Buku Utama pada Januari 2008. Esai lainnya dengan judul “Bedog: Pakarang Urang Sunda” dimuat pula dalam kumpulan esai Kujang, Bedog, dan Topeng yang diterbitkan Pusat Studi Sunda pada Agustus 2008.
Uwak Sasmita mulai aktif menulis sejak pensiun bekerja di Telkom. Setelah itu, ia bisa dibilang sebagai penulis yang cukup aktif dalam menghasilkan karya-karyanya. Salah satu keinginan terpendamnya yang belum terwujud dalam dunia tulis menulis adalah membuat buku karangan pribadi. Ia berkeinginan suatu saat nanti bisa membuat buku tentang senjata khas Sunda, Bedog atau golok. Menurutnya, hal tersebut sangat menarik.
Saat ditanya pendapatnya tentang perkembangan karya sastra Sunda saat ini, ia menjawab,
“Saat ini, perkembangan sastra Sunda tidak terlalu pesat tetapi juga tidak terlalu lambat. Pelan-pelan saja. Menurut saya, sastra Sunda tampaknya lebih cenderung pada romantisme masa lalu. Tidak bersifat kekinian atau memuat hal-hal yang relevan dengan masa kini. Mungkin hal in yang membuat sastra Sunda tertinggal dengan sastra Indonesia atau sastra asing,”
Tambahnya, “Sastra Sunda kurang mewadahi atau kurang menggambarkan realitas kehidupan orang Sunda yang terjadi saat ini. Seperti realitas politik yang tidak memungkiri juga mempengaruhi kehidupan orang Sunda sebagai warga negara. Jarang ada yang menulis tentang hal tersebut apalagi para penulis yang berbasis Sunda. Para penulis ini lebih banyak menuliskan tentang romantisme masa lalu. Jadi, bisa dibilang kalau kejadian-kejadian aktual yang terjadi sekarang ini, sangat lambat “direspon” oleh sastra Sunda. Tetapi, terlepas dari itu semua, masyarakat khususnya mahasiswa mulai banyak yang tertarik dengan sastra Sunda”.
Uwak Sasmita berharap, para penikmat sastra Sunda tidak hanya sekadar “menikmati” tetapi juga bisa melakukan hal lebih terhadap sastra Sunda, misalnya dengan menghasilkan karya-karya yang bersangkutan. Ia juga sangat berharap, karya sastra Sunda tidak hanya dikenal di kalangan masyarakat Sunda atau masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat dunia sehingga “jejak” karya sastra Sunda tidak menghilang dari kehidupan masyarakat.

 Ditulis oleh: Rezki Apriliya Iskandar (210110080041)





17 komentar:

sinta mengatakan...

very like this!

*angkat jempol*

enjoy in here... mengatakan...

Uwak : “Sastra Sunda kurang mewadahi atau kurang menggambarkan realitas kehidupan orang Sunda yang terjadi saat ini". Yang saya rasakan memang spt itu. Contoh kenyataannya kebanyakan orang tua keluarga Sunda mengajarkan anak dr usia muda memakai bahasa Indonesia, berbeda dg org Jawa. Org Jawa masih banyak mengajarkan anak berbahasa Jawa Hakus sejak usia dini. Salam org Jawa yg merantau di Sunda.

ike mengatakan...

suka suka sukaaaa

anju mengatakan...

semoga makin banyak orang2kaya gini

Jurnal Persib Online mengatakan...

keren yah, menjadi refleksi resistensi budaya lokal untuk melawan derasnya arus kencang budaya popular. semoga minat baca terhadap karya-karya berbahasa daerah kembali tinggi, karena kekhasan yang dimiliki.

Unknown mengatakan...

kita butuh lebih banyak orang seperti dia demi kelestarian seni sastra kita...SALUT!

dita mengatakan...

artikelnya kalau bisa jangan terlalu panjang..
agar lebih menarik, coba tambah variasi pemilihan kataa sebagai subjek, jangan hanya uwak atau ia dsb.. tp coba dgn pria yg menyelesaikan sekolahnya di bla bla bla..
sehingga informasi yg diperoleh dpt digabung di satu kalimat majemuk..

Cinematography and Us mengatakan...

asyeeekk ga ngangkat profile abah lg? haha

Unknown mengatakan...

Nice post. Masih banyak gak yah anak muda (sunda) yang mau mempelajari sastra sunda?

Tentara Metafora mengatakan...

Identitas Sunda diletakkan dengan jalan menemukan "bahasa sunda" kata Moriyama. Menurutnya, adalah menggelikan ketika penemuan itu diinstitusionalisasikan oleh Belanda dan Inggris, dan bukan orang Sunda melalui produksi "tulisan" besar-besaran(misalnya karya Jagger, Von Iperen, Rigg, dsb...). Saya berdoa semoga Rumah Baca Buku Sunda (RBBS) tidak hanya berarti "meneruskan identitas produk Kolonialis dengan memelihara 'tulisan' " akan tetapi juga mendekonstruksi dan memproblematisasinya kembali. Bismillah, lillahi wa lil ummah, tan hana dharma mangrwa...

Ratih mengatakan...

Beliau benar2 sosok yang sangat inspiratif. Jarang orang Indonesia saat ini (termasuk saya) yang sangat mencintai budaya nya bahkan untuk sastra seperti ini.Kalau dilihat ini berakar dari budaya membaca yang masih rendah, sebenarny buku apapun itu jika minat baca tinggi akan sangat mudah untuk paham suatu buku (jika alasanny karena sastra sunda kurang diminati dan kurang menggambarkan realitas sesungguhnya. jika tertarik sebenarnya perpustakaan ini dapat saja bekerjasama dengan dinas pendidikan dan pariwisata karena bisa dijadikan salah satu bentuj edukasi budaya soalnya selama ini jika orang ke bandung hanya ke saung uJo bisa aj perpustakaan ini dijadikan perpustakaan daerah yang khusus menyediakan buku sastra dan dapat disandingkan dengan budaya musik dan buday akontemporrer lain untuk menarik wisatawan masuk. Karena kalau hanya berharp pada generasi muda "cukup sulit" hehe....Smoga Tetap Berjaya dan Mari Membaca Karya Sastra Negeri!! ^_^

Anonim mengatakan...

Bagus. Semoga sastra Sunda tidak menjadi sastra yang dilupakan.

Nona Naluri mengatakan...

wow masih ada ya sastrawan sunda di zaman seperti ini. salut buat mereka yang mau mendikasikan hidupnya buat budaya sunda

Stereo Press mengatakan...

Jawa Barat pasti bangga punya orang seperti uwak, ayo dong mana anak2 muda yang bisa jadi penerusnya??

Unknown mengatakan...

kalo ngomong soal budaya,
memamng saatnya kita memeperbaiki pelestarian kebudayaan kita,

minimal permainan dan seni nya lah,
jangan terlalu terpengaruh dengan budaya modern.....

Jurnal Persib Online mengatakan...

Beliau pernah mengatakan kepada saya, Buku yang paling ia "sayang" adalah kamus bahasa sunda-inggris karangan Jonathan Rigg. waktu itu uwak beli di pasar cihaurgeulis, harganya 150 ribu, padahal di ebay harganya 1.5 juta

tadinya saya mau komen dengan mangutip pendapat mikihiro moriyama, eh udah duluan sama tentara metafora..

hehe

tabik

RMP

Cabaca Buku mengatakan...

T@ Semua: terima kasih sdh mampir dan kasih komentar di tulisan ini.

@Cinematography and Us:
gak lah...mesti ganti. biar ada variasi.

-Rezki